Telepon Misterius
Aku berjalan melewati lorong gang yang gelap tanpa cahaya. Rintik hujan masih berjatuhan menemani langkahku yang semakin melemah. Dingin. Sepi. Dan pengap. Sampah menggunung di kanan dan kiri jalan ini. Aroma busuk menyengat hidungku dan sukses membuatku mual hendak muntah.
Ku percepat langkah. Sejurus kemudian aku pun keluar dari gang menjijikan di kota ini. Kulirik arloji. 23:12 WIB. Rupanya sudah larut malam dan suasana di jalan ini pun entah mengapa tidak seperti biasanya, sepi dan lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas membuat suasana jalan sedikit tidak menakutkan. Rintik hujan yang manja semakin menderu bumi.
Angin malam serasa membuat tulangku membeku. Aku kedingingan. Hampir dua puluh menit aku menunggu taksi di trotoar ini, namun belum juga menunjukkan hasil. Mengurangi waktu, aku pun memutuskan untuk berjalan beberapa langkah dan berharap ada taksi di depan sana. Ya, semoga saja.
Deng…ting…ting…deng…ting..ting. Terdengar nada satu pesan menderit dari ponsel di tasku. Ku buka ritsleting tas, ku keluarkan HP dan ku baca pesan itu.
“ Kamu di mana, sayang…?” Pengirim Ferdi. Aku tidak membalas, hanya memasukkan HP itu kembali ke dalam selimutnya. Selang beberapa saat kembali terdengar HP ku menderit. Masih pesan dari Ferdi.
Entah mengapa, air mata ini jatuh dengan sendirinya. Tidak mungkin lagi aku menghubunginya. Sama saja aku akan menyakiti perasaan sahabatku nanti, Maya. Biarlah aku yang mengalah, asal Ferdi bahagia. Lagi pula, Maya memang lebih pantas untuknya.
Tuhan, aku tidak bisa melihat sahabatku hatinya terluka, aku ingin membahagiakan dia di saat ia sedang mengalami kepedihan karena kehilangan kedua orang tuanya. Maya, aku merelakan Ferdi untukmu. Semoga kalian bahagia.
Di kamar. Aku duduk menatap jendela kaca yang mengembun. Menikmati secangkir cokelat panas dengan hati tersayat lalu air mata menderai sebagai pelengkapnya. Jujur, aku belum bisa melihat kenyataan. Semua seperti mimpi. Ketika Maya datang padaku, menangis dan berbicara kalau dia sangat mencintai Ferdi dan ingin memilikinya, betapa hancur hatiku. Betapa remuk jantungku.
"Rin, aku mencintai Ferdi. Hanya dia yang mengerti aku saat ini. Apa menurutmu itu wajar? Aku butuh nasehatmu, Rin. Aku sangat mencintainya…" desis Maya sambil menangis dan mengadukan semua keluh kesahnya padaku.
Sontak aku juga menangis. Bersedih karena Maya tidak atau mungkin belum tahu, kalau aku dan Ferdi sebenarnya sudah resmi berpacaran sebulan yang lalu. Dan rencananya, akhir Januari 2013 nanti kami akan membicarakan masalah hubungan ini kepada kedua belah pihak keluarga, lebih jauh lagi.
Tapi dia, maksudku Maya, tidak mungkin harus tahu semuanya. Pasti hatinya akan hancur berkeping-keping. Selama ini dia memang sangat mencintai Ferdi, tapi Ferdi bilang dia lebih mencintaiku. Lalu, aku harus bagaimana? Berbicara jujur pada Maya dan melihatnya kembali masuk rumah sakit. Atau mendiamkan semuanya, lalu aku yang akan sakit?
Aku pusing. Kembali ku teguk sruput demi sruput cokelat panas ini. Mataku mengawang menatap langit yang gelap. Lampu mercury di seberang jalan jelas menunjukkan riangnya titik-titik gerimis turun dari langit. Suasana syahdu terasa hambar di mataku. Aku pilu.
Tanpa sengaja, aku melihat kamar ini meredup dan gelap. Entah aku yang kalap. Bau amis seketika datang memenuhi ruangan ini. Rintihan dan tengisan terdengar sesekali membahana di kamarku. Sontak aku terperanjat. Aku takut.
Aku keluar kamar mencari ayah dan ibu. Juga adikku, Hasan. Tapi, mereka tidak ada. Ke mana perginya? Bukankah aku pulang Ayah yang membukakan pintu? Dan cokelat panas ini buatan Ibu? Serta Hasan tadi meminjam buku kuliahku? Tapi, ke mana mereka saat ini? Aneh.
***
Tulililililit. Telepon di ruang tamu berdering. Aku melangkah mendekati. Siapa tahu Ayah, atau Ibu atau juga Hasan. Ku angkat.
“Halo..?” sapaku lebih dulu.
“…. “
“Halo, ini dengan siapa ya..?”
Hening.
“Halooo…?!” kedua alisku pun menyatu. Aneh. Siapa yang malam-malam begini iseng ngerjain orang. Setelah ku letakkan telepon, aku melangkah hendak kembali ke dalam kamar. Melanjutkan meratapi diri.
Tulililililit. Untuk kedua kalinya, telepon di ruang tamu berdering. Ku urungkan niatku melangkah, ku angkat telepon sialan itu.
“ Halo… ini siapa?” lirihku mencoba bersabar.
Masih diam.
“ Maaf, ini dengan siapa? Dan ada perlu apa?” tanyaku lagi.
“ …. “
“ Ini kalian yah – pikiranku adalah Ayah, Ibu dan Hasan mengerjaiku – yang iseng?”
Hanya suara deru angin di sebuah ruangan.
“ Nggak lucu. Aku nggak takut. Terus saja menggangguku, sampai kalian puas!” tutupku lalu melangkah ke dalam kamar. Aku berbaring di atas kasur. Mataku terpejam melekat. Dan entah sejak kapan, leher ini rasanya sakit. Nyeri sekali. Saat aku pegang, ada darah di tanganku. Astaga?! Kenapa dengan leherku?
Di ruang keluarga, aku mengambil kota P3K. Ku oles leher yang ku duga di gigit serangga dengan obat merah dan minyak angin aroma therapy. Setelah itu aku istirahat di depan TV. Berbaring menunggu mereka datang. Agaknya Ayah, Ibu dan Hasan keluar tanpa ada pamit padaku.
Tulilililit. Mataku terbuka setelah sesaat mendengar suara telepon itu. Aku tidak memperdulikannya. Aku yakin, mereka yang mengerjaiku. Aku tidak sedang tidak mau di ganggu. Ku rasakan leher ini semakin sakit.
Tulilililit.
“ Dih! Awas saja kalau itu memang mereka…” aku mendekati telepon itu.
“ Halooo, ini dengan siapa? Kenapa dari tadi nggak bicara? Haloooo?” lirihku menyerah. Suasana di seberang sana, diam dan hening. Tidak ada yang menyahut. Aku menggelengkan kepala.
“Maaf ya, kalau nggak mau bicara jangan telepon. Mengganggu!”
Praaakkk.
Ku hempas telepon itu, lalu kembali berbaring di atas sofa.
Tulilililit. Aku melirik sesaat. Kemudian memejamkan mata. Tidak peduli.
Tulilililit. Telingaku seolah melebar mendengar suara itu. Lagi-lagi aku tidak peduli.
Tulilililit. Suara telepon itu terdengar memaksa. Mataku terpejam tapi telingaku seakan di rajam. Penging, berdenging dan sakit menusuk gendang telinga. Telepon setan!
“Halo! Eh, kalau mau telepon ya bicara, jangan seperti ini. Ada perlu apa? Dan mau bicara dengan siapa? Jangan diam aja. Setan!” aku kalap.
Lepas kendali. Emosi ini menderu bercampur luka di hati. Di saat hatiku kecewa, seakan ada orang yang ingin menambah luka. Sayup terdengar suara lirih di seberang sana. Perlahan suara itu semakin jelas terdengar. Aku terperanjat. Ku amati baik-baik suara itu. Ya, seorang wanita menangis dengan rintihan penuh penyesalan. Si-siapa dia?
“Halooo…? ini siapa? ke-kenapa menangis?” ucapku lirih.
“Huhuuuu…to-tooolooonnng….”
“Tolong?! Tolong apa?” meski tidak tahu siapa orang itu. Aku mencoba berempati atau sekadar berbasa-basi.
“Aku menyesal…” isaknya menangis.
“Menyesal? Kenapa…? Apa yang telah kamu perbuat..?”
“Huhuhuuuuu….to-toloooong. Saaakiiiiiit…..”
Mendengar suara itu, aku seketika terkejut seolah turut merasakan kepedihan yang wanita itu alami. Dia sangat menderita sekali sepertinya. Tapi kenapa dia? Siapa? Di mana?
“Maaf, ini sudah malam. Aku tidak bisa keluar, jadi, aku tidak bisa membantu..”
“Aku ada di kamarmu. Sekarang…!”
Praaaanggg!
Sontak aku terkejut. Terdengar suara gaduh di kamarku. Segera aku berlari ke lantai dua. Membuka pintu kamarku perlahan. Dari balik pintu, sebelumnya aku mendengar suara wanita menjerit kesakitan. Hatiku berdegup kencang. Nadiku seakan putus. Darah ini mengalir deras.
Kreeeekk. Pintu ini pun terbuka.
“Astagahh?!” sontak aku menjerit. Seorang wanita kejang-kejang menahan sakit karena lehernya tergantung di atas plafon kamar. Darah bercecer di mana-mana. Bau amis menyengat. Dari tangan kirinya, aku melihat pergelangan itu nyaris terputus. Dan yang lebih membuatku terkejut adalah. Ternyata, wanita itu adalah diriku.
Mendengar suara itu, aku seketika terkejut seolah turut merasakan kepedihan yang wanita itu alami. Dia sangat menderita sekali sepertinya. Tapi kenapa dia? Siapa? Di mana?
“Maaf, ini sudah malam. Aku tidak bisa keluar, jadi, aku tidak bisa membantu..”
“Aku ada di kamarmu. Sekarang…!”
Praaaanggg!
Sontak aku terkejut. Terdengar suara gaduh di kamarku. Segera aku berlari ke lantai dua. Membuka pintu kamarku perlahan. Dari balik pintu, sebelumnya aku mendengar suara wanita menjerit kesakitan. Hatiku berdegup kencang. Nadiku seakan putus. Darah ini mengalir deras.
Kreeeekk. Pintu ini pun terbuka.
“Astagahh?!” sontak aku menjerit. Seorang wanita kejang-kejang menahan sakit karena lehernya tergantung di atas plafon kamar. Darah bercecer di mana-mana. Bau amis menyengat. Dari tangan kirinya, aku melihat pergelangan itu nyaris terputus. Dan yang lebih membuatku terkejut adalah. Ternyata, wanita itu adalah diriku.
No comments:
Post a Comment