Dongeng: Semut Perkasa
Ratu semut dan rakyatnya hidup tenang dalam sarang di bawah sebuah pohon besar. Sang ratu memang sengaja memilih tempat yang tidak terlalu jauh masuk ke hutan, dan tidak terlalu dekat ke sungai. Setiap hari, mereka berbaris mencari makanan. Setelah mendapatkan makanan yang diinginkan, mereka pun bergotong-royong membawanya ke sarang.
“Hai, rakyatku. Kita sungguh beruntung memiliki sarang yang nyaman!” seru sang ratu suatu hari pada rakyatnya. “Kita hidup bersama di sini, mencari makanan bersama-sama, dan bergotong-royong,” lanjut sang ratu, “jangan sampai kita saling bermusuhan.” Para semut saling bergumam, setuju dengan perkataan ratu mereka.
Sayangnya, ketenteraman mereka tidak berlangsung lama. Suatu hari, sarang para semut yang biasanya nyaman itu bergetar hebat. Tanah di dinding sarang pun banyak yang berjatuhan. Para semut berlarian panik.
“Ada apa ini?” teriak ratu semut sambil berlari menghampiri pintu masuk sarang. Seorang prajurit semut dengan sigap berlari keluar melihat situasi.
“Aduh, gajah-gajah!” pekik prajurit itu terkejut. Dilihatnya beberapa ekor gajah tengah minum dan mandi di sungai. Hampir saja tubuhnya yang kecil tertindih butiran kerikil yang melayang ke arahnya. “Hei, hati-hati berjalan!” serunya pada seekor gajah yang berjalan melewatinya. Tentu saja gajah itu tidak bisa mendengar perkataannya. Tubuh semut begitu kecil, apalagi suaranya.
Ratu semut yang ikut keluar sarang merasa geram dengan kelakuan para gajah itu. Sarang tempat tinggal mereka bisa hancur kalau para gajah itu terus-menerus tidak hati-hati. “Antar aku ke tepi sungai!” perintah sang ratu kepada para prajuritnya. Mereka pun menghampiri gajah-gajah yang tengah mandi di sungai.
Para gajah yang tengah minum di tepi sungai merasa terusik dengan kedatangan sekumpulan semut itu. Awalnya, gajah-gajah itu hanya melihat warna hitam besar yang bergerak meyusuri tanah. Lama-kelamaan warna itu semakin jelas ketika telah dekat dengan mereka. Ternyata itu adalah para semut yang bergerombol mengiringi ratu mereka.
“Mau apa kalian?” tanya seekor gajah yang paling besar. Dengan congkak dipandangnya gerombolan semut itu. Para prajurit semut sedikit merasa takut ketika berada dekat-dekat dengan binatang berbelalai itu.
Ratu semut berdeham, mencoba menarik perhatian lebih si gajah. “Kalian hampir saja membuat sarang kami rubuh,” sahutnya dengan nada kesal. “Setiap kali kalian berjalan melewati pohon itu, tanah di dinding sarang berjatuhan. Kami takut lama kelamaan tanahnya tidak kuat dan menimpa seisi sarang.”
Gajah besar tertawa keras. “Salah kalian sendiri bersarang di bawah pohon. Lagipula, itu adalah jalan umum,” balas gajah tak mau kalah.
“Kami hanya meminta kalian untuk lebih hati-hati ketika melewati sarang,” sang ratu kembali menegaskan. Ia kesal sekali dengan lagak gajah yang meremehkan.
“Apa hak kalian memerintah? Bahkan badanku ini lebih besar dari kalian. Kalau mau, dari tadi sudah aku injak kalian!” seru gajah kesal, lalu memalingkan wajahnya dan kembali minum air sungai.
Ratu semut sangat marah dengan perlakuan gajah. Ia pun memerintahkan prajuritnya untuk kembali ke sarang. Rasa marahnya semakin bertambah, ketika para gajah itu kembali berjalan seenaknya sewaktu melewati sarang mereka—sekembalinya dari sungai.
“Awas, hati-hati!” pekik beberapa semut sambil berlarian melindungi tubuh mereka dari hujan tanah yang berjatuhan. Dinding sarang bergetar hebat ketika para gajah itu berjalan dengan seenaknya.
Ratu semut gelisah melihat kepanikan rakyatnya. Aku harus mencari pertolongan, pikirnya. Tiba-tiba, sang ratu teringat si kancil yang terkenal bijaksana. Ia pun bertekad mendatangi kancil untuk meminta nasehatnya.
Kancil memang terkenal dengan kecerdasannya, hampir semua permasalahan di hutan bisa diatasinya. Ratu semut sangat bersemangat mendatangi binatang lincah dan cerdas itu. Ia yakin, kancil bisa mencarikan jalan keluarnya.
Kancil memandangi segerombolan semut yang tengah mengantre—menunggu giliran meminta nasehat pada dirinya. Kelihatannya mereka murung sekali, ucapnya dalam hati. Tak lama kemudian dipanggilnya sang ratu untuk menghadap.
“Muram sekali wajahmu, duhai Ratu. Apa yang bisa aku bantu?”
Ratu semut dengan penuh semangat menceritakan segala permasalahannya. Ia ingin para gajah itu berhati-hati ketika berjalan melewati sarang mereka. Kancil mengangguk-angguk paham setelah mendengar cerita sang ratu.
“Tidak ada jalan lain … kalian harus mengalahkan gajah-gajah itu agar mereka mau menghormati kalian,” ucap kancil memberikan pendapat. Perkataannya langsung mendapat respon keras dari para semut. Mereka menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak setuju dengan pendapatnya.
“Bagaimana kami yang kecil ini bisa mengalahkan gajah?” tanya sang ratu, “kulit mereka sangat tebal, gigitan kami takkan bisa menembusnya.”
Kancil terkekeh mendengar keluhan mereka. “Jangan khawatir. Kemari, mendekatlah. Aku tahu kelemahan para gajah itu.”
Setelah mendapat wejangan dari si kancil, semut-semut itu kembali ke sarang dengan penuh percaya diri. Sekarang mereka telah mendapat senjata untuk melawan gajah-gajah itu. Sang ratu memberikan perintah kepada para prajuritnya untuk waspada—berjaga-jaga jika para gajah datang lagi.
Benar saja, keesokan harinya para gajah itu datang lagi. Mereka sangat senang mandi di sungai, airnya sangat jernih dan enak diminum. Sekali lagi, gajah-gajah itu melewati sarang semut dengan seenaknya. Para prajurit yang tengah berjaga berlarian memperingatkan seisi sarang. Sebagian dari semut-semut itu mengungsi keluar sarang karena takut tertimpa tanah. Sang ratu sangat marah ketika mengetahui para gajah kembali berulah. Ia lalu mengerahkan seluruh prajurit dan rakyatnya untuk melawan gajah-gajah kurang ajar itu.
“Hei, minggir!” seru gajah besar pada gerombolan semut di hadapannya. Gajah itu terkejut ketika dicegat oleh para semut. “Tubuh kalian ingin gepeng yah?”
Ratu semut dengan percaya diri menjawab gajah, “Kenapa kami harus takut? Sangat mudah mengalahkan kalian,” balasnya, “kami tak perlu takut pada kalian.”
Gajah besar mendengus, “Sombong sekali. Kalau kalian bisa mengalahkanku, kami berjanji tidak akan lewat tanah ini lagi.” Tantang gajah besar dengan nada meremehkan.
Ratu semut sangat kesal mendengar perkataan gajah. “Baiklah, kami pegang janjimu!” serunya menantang balik. “Ayo, serbu!” pekiknya menyemangati prajurit dan rakyatnya yang semakin banyak bergerombol. Tanpa menunggu diperintah dua kali, para semut itu dengan semangat menyerang si gajah besar.
Gajah dengan geli memandang semut-semut yang bergerak lambat menghampirinya. Binatang kecil itu lalu mulai merayapi badannya. Gajah sama sekali tidak merasakan apa-apa, kulitnya terlalu tebal untuk digigit.
“Kalian hanya menggelitikku. Mengaku kalah saja, demi keselamatan kalian!” serunya pada semut-semut yang memenuhi tubuhnya.
Sementara itu para semut mengikuti perintah ratu mereka. ketika sampai di bagian belalai gajah, perlahan ratu semut dan prajuritnya mencapai belalai yang paling ujung. Mereka kemudian bersorak ketika menemukan apa yang dicari.
“Ternyata Si Kancil benar!” teriak ratu gembira, “ayo, kita gigit sama-sama!”
Semua semut yang mengikutinya menggigit daging yang terdapat di dalam belalai. Mereka melakukan persis seperti yang dikatakan kancil sebelumnya. Kalian bisa masuk lewat ujung belalai gajah. Daging di dalam belalainya empuk, tidak seperti kulit luarnya. Karena mereka menggit bersamaan, rasa sakit yang dihasilkannya pun luar biasa. Sang gajah yang tak menyadari keberadaan para semut di dalam hidungnya, merasakan sakit yang hampir membuatnya pingsan.
“Aduh. Hentikan! Apa yang kalian lakukan?” jerit gajah kesakitan, belalainya diayun dengan cepat, berusaha mengusir binatang-binatang kecil itu. Akhirnya, gajah meraung-raung kesakitan dan mengaku kalah. Dia jatuh terduduk di atas tanah dengan air mata bercucuran.
“Kamu mengaku kalah?” tanya sang ratu yang berdiri di hidung, di antara kedua mata gajah. Senang sekali karena berhasil membuat binatang besar itu menangis.
Gajah yang tak tahan dengan rasa sakit yang dideritanya, mau tak mau harus mengakui kekalahannya. “Baiklah … baiklah, aku mengaku kalah,” ucapnya sambil terisak.
Para semut pun bersorak gembira. Mereka turun dari badan gajah, lalu mengiringi ratu semut kembali ke sarang. Sesuai dengan janjinya, gajah besar dan kawan-kawannya tidak melewati lagi tanah yang ada sarang semut di bawahnya. Mereka berputar balik dan mencari sungai yang lain. Setelah peristiwa itu para semut hidup dengan damai, dan kekuatan mereka ketika mengalahkan gajah besar menjadi perbincangan seisi hutan. Binatang-binatang lain sangat kagum dengan kekuatan yang para semut miliki. Konon, cerita itulah yang melatarbelakangi permainan suit tercipta. Di permainan itu, kelingking yang melambangkan semut dinyatakan menang apabila berhadapan dengan ibu jari yang melambangkan gajah.
***
Amanat:
– Jangan sombong dengan kelebihan yang kita miliki, karena setiap kekuatan itu pasti ada kelemahannya.
– Jangan meremehkan yang lebih lemah.
- Persatuan dan kerjasama akan menghasilkan kemenangan
No comments:
Post a Comment