[Move On] Hari Ini 17 Agustus, Sepuluh Tahun yang Lalu - TOGEL ONLINE TERPERCAYA

Breaking

Saturday, August 17, 2019

[Move On] Hari Ini 17 Agustus, Sepuluh Tahun yang Lalu



[Move On] Hari Ini 17 Agustus, Sepuluh Tahun yang Lalu.


unsplash


17 Agustus 2019

Aku duduk termangu, menyaksikan betapa ramainya anak-anak sekolah dasar mengenakan seragam merah putih, berlangsung dengan sarat canda tawa mengarah ke lapangan dekat kecamatan untuk berjajar mengikuti serangkaian acara upacara peringatan hari ulang tahun bangsa Indonesia yang ke 74. Indonesia telah tua, memasuki kepala 7 yang tergelayuti sekian banyak  konflik dan nestapa, namun masih tidak sedikit yang menyukai dan membanggakannya. Kini aku menyeruput kopi produksi ibu, merasakan hari liburku mengekor warna merah pada kalender. Aku bahagia, bukan sebab hari ini akan tidak sedikit lomba 17-an di kampungku, namun hari ini aku genap berusia 22 tahun. 22 tahun yang kurasa tidak pernah sia-sia, aku merasakan kehidupanku sampai detik ini. Suka duka tentu telah kulalui, aku tak memungkiri kehidupan ini begitu berat dan sempat membuatku berkali-kali menyeka air mata yang tak sengaja menetes dengan mudahnya.

Mataku berganti pandangan, sekarang aku menyaksikan seorang wanita cantik sedang membawa sekantung belanjaan mengandung sayur dan lauk yang bakal ia masak. Betapa senyumnya selalu sukses meluluhkan hatiku walau tanpa mesti berdegup dengan kencangnya. 22 tahun telah aku hidup dengannya, menikmati hangat dekap peluknya, lembut suaranya yang tak pernah melukai perasaanku.

“ kok matanya nggak berkedip to, le ?”, sapanya sambil menepuk pundakku.

“ lagi menatap bidadari, bu.”, jawabku menggodanya.

Sudah menjadi kelaziman dari tahun ke tahun, ibu akan tidak jarang kali membuatkan aku nasi tumpeng menyeluruh dengan jajaran lauk pendukungnya. Kami bakal merayakan ulangtahun berdua saja laksana tahun-tahun sebelumnya, melantunkan untaian doa supaya bisa dijabah oleh Sang Pencipta. Aku tidak inginkan bertanya hingga kapan ibu bakal membuatkan aku nasi tumpeng, sebab aku tidak hendak kehilangan momen berharga yang hanya dapat kunikmati setahun sekali ini.

Hari ini masih panjang, aku masih saja duduk merasakan secangkir kopi, mungkin bisa menyaksikan anak-anak dengan wajah keletihan selepas upacara sambil membawa sekantung plastik es teh segar. Aku bersandar di kursi bambu yang telah rapuh termakan usia, aku tersenyum tipis, mengenang kenangan bagaimana aku menapaki kehidupan yang terjal ini. Aku tidak kecil hati dan kecewa, aku hanya berjuang berterimakasih untuk semesta yang selalu menyerahkan aku kekuatan dikala pundakku melemah sebab duka dan lara. Obatku hanyalah senyuman ibu, tidak terdapat lagi.

16 Agustus 2019

Aku mematut diriku di depan cermin yang hanya dapat memperlihatkan separuh badanku. Aku membereskan kerah baju dinas yang aku pakai keseharian untuk mengoleksi pundi-pundi rupiah. Ibuku paling bangga saat aku menggunakan seragam putih yang dipadukan dengan celana hitam, diperbanyak sepatu pantofel hitam legam yang rajin aku bersihkan masing-masing malam sebelum membina mimpi di tidurku. Pagi yang tidak bertolak belakang dengan pagi-pagi sebelumnya. Setelah berlalu menghias diri, kulanjutkan sarapan dengan nasi putih hangat dan selembar tempe yang lumayan mengganjal perutku sampai santap siang tiba. Aku mulai menerbitkan motor butut dari kandangnya dan mengawali hariku dengan mengendarainya di sepanjang jalan perkampungan mengarah ke tempat dinas.

Kehidupan masih lengang kurasakan di sepanjang jalan, hanya sejumlah ibu-ibu mulai mengirimkan anaknya ke sekolah, dan saudagar sayur keliling yang mulai menjajakan dagangannya. Mereka sama sepertiku, sama-sama melawan dinginnya pagi untuk memburu sesuatu yang mereka dambakan. Pukul 06.30 WIB, motorku telah kuparkir apik di jejeran parkir karyawan, aku menempatkan tas dan topiku di pos, dan mulai membuka gerbang dan pintu. Aku bekerja di suatu bank swasta, aku tidak jarang kali berdiri sigap di belakang pintu masuk, membukakan pintu untuk masing-masing nasabah yang datang sembari menyerahkan senyuman terbaik.

Menjadi seorang security bukanlah cita-citaku. Sejak kecil aku hendak sekali menggunakan seragam tentara, membawa pistol, mengayomi semua orang dari mara bahaya, menyukai negaraku, mengayomi rakyat Indonesia. Tapi itu ialah impian masa kecilku, yang kesudahannya tidak terealisasikan sampai aku nyaris menginjak umur 22 tahun. Sekali lagi, aku tidak kecil hati dan tidak kecewa, sebab aku yakin ini ialah rencana Sang Pencipta untukku. Aku telah menapaki karirku nyaris 4 tahun. Menjadi alumni SMK yang biasa-biasa saja tidak mendorongku untuk tidak sedikit bermimpi. Bisa diterima bekerja di suatu bank yang tidak hingga berjarak puluhan kilo dengan rumah, membuatku bersyukur sebab aku tidak butuh repot mengurus tiket bus maupun kereta andai harus berjumpa dengan ibu.

“Maaf, bu, namun bank tidak dapat memberikan pinjaman sebesar itu.”, seorang karyawan bank berjuang untuk memelankan suaranya, mengupayakan memberi tahu seorang nasabah, seorang wanita tua yang duduk seraya menyeka matanya. Terlihat ia telah menangis semalaman, menyembunyikan sekian banyak  luka di hatinya. Ia tidak tahu lagi mesti melakukan apa, ia berdiri dan selesai meninggalkan bank dengan kekecewaan yang mendalam. Aku hanya dapat menatapnya nanar, menginginkan ibu. Otakku sekarang mulai bermain-main pulang memutar suatu memori.

25 Agustus 2009

Keputusan ibu telah bulat, ibu mengajakku pindah dari ibukota mengarah ke Yogyakarta, lokasi kelahiran ibu. Ibu telah tidak mampu menelan pahitnya kehidupan di ibukota yang kejam yang terlalu tidak sedikit meninggalkan kenangan untuk ibu. Aku masih 12 tahun, aku hanya dapat mengangguk mengiyakan semua keputusan ibu, sebab aku tidak mau menyaksikan ibu menangis masing-masing malam, sebab aku belum lumayan kuat mengelus air mata ibu. Kami menyimpulkan meninggalkan lokasi tinggal kontrakan pada malam harinya, kami mengarah ke terminal dengan tahapan yang pasti. Ibu menggenggam tanganku dengan erat, meyakinkan aku bahwa semuanya bakal baik-baik saja. Aku sempat kehilangan senyum ibu, aku sempat menitikkan air mataku saat ia tidak melihatku. Aku ini anak lelaki, namun apa yang dapat aku kerjakan sebagai seorang pria berusia 12 tahun. Aku hanya dapat pasrah dan diam.

17 Agustus 2009

Betapa bahagianya hari ini, aku genap berusia 12 tahun. Sebentar lagi masuk SMP, telah tidak lagi menggunakan seragam merah putih. Aku telah besar, pikirku. Ibu sedang sibuk di dapur, membuatkan aku nasi tumpeng. Aku melulu duduk bersandar di suatu kursi, memandangi layar TV 14 inch yang sedang menyiarkan pengibaran bendera merah putih di istana negara. Keren sekali melihatnya. Aku pun melihat jajaran TNI mengekor upacara dan bahkan terdapat yang menjadi pemimpin upacara. Mereka ialah orang-orang gagah yang berjiwa besar, mulai ketika ini cita-citaku ialah menjadi seorang tentara.

Nasi tumpeng telah dihidangkan di atas meja, ibu telah menyiapkan sekotak kado istimewa yang dibungkus dengan kertas kado berwarna hijau tua. Aku telah menyiapkan sejumlah doa yang nantinya bakal siap diaminkan oleh ibu dan ayah. Betapa sempurnanya hidupku. Belum sempat aku mengucapkan doa-doaku, ibu menerima telfon dari seseorang. Sebuah telfon yang mengolah 17 Agustus-ku sarat dengan haru.

Aku mengekor ibu yang berlari sekuat tenaga melalui koridor lokasi tinggal sakit, dari jauh aku menyaksikan ibu mengarah ke sebuah ruangan bertuliskan ICU. Seorang anak berumur 12 tahun yang berkeinginan merayakan ulangtahunnya, tidak memahami apa yang sebetulnya terjadi, hanya dapat terduduk lemas dengan hati yang berkecamuk. Hanya dengan masa-masa sepersekian detik saja, suka pulang menjadi duka, senyum ibu hilang begitu saja ditelan kabar singkat lewat telfon, nasi tumpeng dan suatu kado di atas meja kami lupakan begitu saja, laksana sudah tidak terdapat artinya. Hari ini aku menyaksikan ibu menangis, hari ini aku mendapati diriku lemah tidak berdaya, hari ini kabar tersebut datang bak sambaran petir yang datang tiba-tiba, hari ini aku kehilangan ayah guna selamanya. Sejak hari ini, hidupku berubah, mimpi dan cita-citaku hilang pudar laksana debu jalanan tersapu riuhnya kendaraan ibukota.

17 Agustus 2019, pukul 14.00 WIB

Nasi tumpeng telah dihidangkan di atas meja, namun kali ini ibu telah tidak menyiapkan sekotak kado istimewa yang dibungkus dengan kertas kado berwarna hijau tua. Aku dan ibu duduk berdampingan, sekarang aku kembali menyaksikan senyumnya, sama laksana 10 tahun yang lalu. Kini, aku mengerti kenapa ibu mengajakku pindah ke Yogyakarta. Bukan, bukan sebab ibu hendak aku melupakan ayah yang telah menemaniku sekitar 12 tahun. Bukan sebab ibu membenci ayah sebab sudah tega meninggalkannya dikala kasih sayang sangat diperlukan saat itu. Ibu melulu tidak hendak berlarut dalam kesedihan sebab setiap tahapan ibu tidak jarang kali dibayangi dengan kerinduannya untuk ayah. Kini aku mengerti, move on bukan berarti anda harus melupakan sesuatu atau seseorang yang pernah terdapat di hidup kita, melulu saja move on ialah jalan supaya kita dapat terus melangkah ke depan, meskipun telah tidak terdapat seseorang yang terdapat di samping kita.


No comments:

Post a Comment