Wisata 'Misteri' di Kampung Lopintol.

Mesin penelusuran internet memang menjadi tumpuan untuk menggali segala informasi yang saya mau tentang Raja Ampat, Papua Barat. Dari lama perjalanan mengarah ke ke sana, hostel dan cerminan keindahan panorama di tujuan wisata.
Terbuai dengan objek visual yang diperlihatkan internet, saya melupakan satu urusan yang ternyata urgen selama berwisata. Prediksi cuaca, urusan ini baru saya sadari ketika menginjakkan kaki di Raja Ampat.
Matahari tidak menyambut hangat di pagi hari kesatu Festival Bahari Raja Ampat 2019, hujan deras serta angin kencang melanda Waisai. Awan mendung menyelimuti sejauh mata memandang, tak ada firasat matahari bakal nampak.
Seharusnya cocok rencana perjalanan saya akan mendatangi Kampung Lopintol, Batu Kelamin dan Pulau Ajele yang berada di dekat Teluk Mayalibit. Untuk hingga ke tiga tujuan wisata tersebut saya dan regu tur memakai kapal kecil.
Dua kapal kecil telah disiapkan di dermaga belakang hostel. Setiap kapal dapat memuat 8-10 orang telah termasuk dengan anak buah kapal (ABK) dan pembimbing wisata.
Tapi sebab hujan deras, penyeberangan menuju tujuan kesatu Kampung Lopintol sempat tertunda nyaris setengah jam dari jadwal seharusnya.
Hujan mereda. Dengan arahan dari pembimbing wisata regu tur mengawali perjalanan menuju tujuan kesatu. Waktu yang diperlukan untuk hingga ke Kampung Lopintol selama satu jam.
Ternyata angin kencang dan ombak yang lumayan tinggi masih mendampingi perjalanan saya mengarah ke Kampung Lopintol.
Kondisi sempat menciptakan nyali sempat menciut, jujur ini empiris kesatu mengemudikan kapal kecil dengan cuaca laksana ini.
Namun raut wajah tenang dari ABK dan pembimbing wisata sedikit menolong mengurangi rasa fobia saya.
Hingga dirasa sepuluh menit terakhir mengarah ke Kampung Lopintol, cuaca mulai bersahabat. Saya mulai dapat menikmati pemandangan sekitar sekitar perjalanan.
Perbukitan hijau menjulang tinggi dan langit biru nan bersih dapat 'membersihkan' ketakutan saya.
Fadli, sang pembimbing wisata yang menemani regu tur saya mulai menerbitkan informasi mengenai Kampung Lopintol.
Perkampungan ini terletak di wilayah Teluk Mayalibit, Raja Ampat. Mayoritas warga yang tinggal mendekap agama Islam, bahkan ada masjid tertua di tengah perkampungan.
Informasi yang dikisahkan oleh Fadli melulu sampai di situ. Di ketika anggota regu lain mulai bertanya mengenai asal-usul warga Kampung Lopintol dari Kerajaan Ternate/Tidore, Fadli terlihat keadaan bingung bahkan sesekali melulu menyimpulkan senyum dan menggelengkan kepala.
Pertanyaan yang dikatakan tak terjawab dan selesai begitu saja sampai akhirnya regu saya mendarat di Kampung Lopintol.
Kapal cepat mulai menepi ke dermaga Kampung Lopintol. Luas dermaga hanya dapat memuat empat kapal kecil. Kalaupun terdapat kapal beda yang hendak mendekat maka mesti bergantian atau melompati kapal terdekat dermaga.
Penduduk pribumi Kampung Lopintol juga sudah menantikan kehadiran regu tur. Mereka terlihat niat menyambut semua tamu. Dermaga dihias sedemikian rupa dengan rumbai daun kelapa sampai tampak meriah.
Bahkan mereka pun menyambut kedatangan kami dengan tabuhan perangkat musik tradisional tifa dan seruling bambu.
Sambutan tak melulu terhenti hingga di situ, penduduk pun mengiringi rombongan sampai pinggir pantai dekat dermaga.
Ternyata di sana telah didirikan sejumlah tenda yang menyajikan hidangan khas Tanah Papua. Mulai dari Papeda, Sagu Kering, Sop Ikan Kakap Kuah Kuning, Sate Kerang Bidara, Ikan Kakap Merah Bakar, sampai ulat sagu yang telah disangrai sampai kering.
Awalnya saya tidak tahu ulat sagu menjadi di antara menu yang mereka sajikan, sampai ada salah satu teman mencolek dan memberitahu.
Tanpa ragu langsung mendekati meja ulat sagu, ternyata telah tinggal piring tanah liat kosong. Ya, saya kehabisan.
Antusiasme wisatawan dengan sajian menarik ini tinggi sampai tak membutuhkan waktu lama guna menghabiskannya.
Saya hanya dapat menyicipi potongan kecil ulat sagu dari teman yang sebelumnya saya minta. Rasanya serupa dengan udang, melulu saja tekstur daging paling lembek dan kulit diluar renyah sebab disangrai.
Setelah dirasa lumayan menikmati kuliner lokal, saya berlangsung mendekati masjid tertua di Kampung Lopintol.
Selintas tak ada unik dari masjid ini, melulu bangunan yang tercipta dari kayu dan diatasnya ada surau kecil.
Masjid ini pun tak terlampau besar, barangkali hanya dapat menampung 50-an orang. Saya hanya dapat melihatnya dari luar, sebab pintu masjid tertutup dan terkunci.
Letak dari masjid ini pun tidak begitu jauh dari dermaga, melulu perlu berlangsung kaki tidak hingga dua menit.
Di sekitar lokasi ibadah ini pun langsung dikelilingi rumah warga Kampung Lopintol.
Setelah asyik mengelilingi masjid, saya tak sengaja berjumpa dengan salah satu warga lokal. Kami saling menyapa dan sempat mengobrol sebentar.
Ari, begitu nama yang ia perkenalkan untuk saya dan ia salah satu warga asli Kampung Lopintol.
Ia bercerita bahwa dusun ini melulu ditinggali 54 kepala family dan nyaris semuanya mendekap agama Islam. Mata pencaharian warga mayoritas ialah nelayan.
Pria yang berumur 22 tahun tersebut menceritakan hasil tangkapan mereka cukup pelbagai mulai dari ikan tengiri sampai ikan tuna.
Hasil tangkapan mereka seringkali dijual ke Kota Waisai. Apabila hasil tangkapan dirasakan berlebih mereka santap bareng keluarga atau berbagi ke tetangga.
Untuk akses edukasi di Kampung Lopintol melulu ada satu sekolah dasar, namun ia tidak dapat menyebut secara mendetail berapa murid yang sedang di sana.
Apabila terdapat seorang anak hendak melanjutkan edukasi maka ia mesti hijrah dari kampungnya.
Saya sempat bertanya untuk Ari mengenai masjid, tetapi dia tidak dapat bercerita banyak.
Seperti lokasi ibadah agama Islam pada lazimnya hanya dipakai saat masa-masa salat dan pengajian. Ia tak tahu serupa kapan masjid tersebut dibangun, ia hanya dapat menceritakan masjid telah lama berdiri sebelum ia lahir.
Saya juga mulai menyebut asal-usul warga Kampung Lopintol, raut wajah Ari berubah bingung. Sama laksana Fadli, dia tampak keadaan bingung dan menuliskan tidak tahu asal-usul leluhurnya.
Rasa penasaran saya dengan Kampung Lopintol tak berhenti hingga di situ. Saya masih mencoba menggali informasi lanjut lewat internet dan ternyata tidak tidak sedikit yang ditampilkan.
Laman internet melulu menampilkan pemandangan selama Kampung Lopintol dan warga lokal dapat menangkap ikan dengan tangan kosong. Satu urusan ini terlewat dari apa yang seharusnya saya bisa di Kampung Lopintol.
Berdasarkan keterangan dari saya urusan ini paling disayangkan, Kampung Lopintol memiliki keanehan dengan penduduknya namun tidak dapat diceritakan lebih rinci baik dari pembimbing wisata ataupun penduduk lokal.
Saya beranggapan positif, barangkali 'misteri' Kampung Lopintol ini dapat menjadi pesona tersendiri untuk wisatawan untuk berangjangsana ke sana.
No comments:
Post a Comment