Kisah Mistis Candi Borobudur - TOGEL ONLINE TERPERCAYA

Breaking

Friday, November 29, 2019

Kisah Mistis Candi Borobudur

Kisah Mistis Candi Borobudur.



Pada masa Sunan Pakubuwono I bertakhta di Kartasura, hadir penentangan yang dipimpin Ki Mas Dana di wilayah Enta-Enta. Sunan menyuruh Bupati Mataram, Ki Jayawinata, guna memadamkan penentangan itu. Namun, balatentaranya kewalahan dan mundur ke Kartasura. Jayawinata mengadukan peristiwa tersebut untuk sunan.

Sunan pulang mengutus orang kepercayaannya. Kali ini Bupati Kartasura, Pangeran Pringgalaya, yang diperintahkan guna mengurus penentangan itu.

“Tangkap Ki Mas Dana hidup-hidup!” perintah Sunan.

Pertempuran terjadi. Banyak korban bergelimpangan. Pemberontakan sukses dipadamkan. Namun, Ki Mas Dana melarikan diri ke Bukit Borobudur. Pringgalaya mengejarnya sampai tertangkap dan diangkut ke hadapan sunan guna menerima hukuman yang kejam.

Kisah tersebut dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-18. Di sana nama Borobudur dinamakan sebagai lokasi pelarian.

Filolog dan sejarawan seni asal Belanda, J.L.A Brandes, sebagaimana dilansir J.F. Scheltema dalam Monumental Java, mempercayai Bukit Borobudur ialah Candi Borobudur yang terdapat di Magelang, Jawa Tengah. Karena tak terdapat tempat beda yang punya nama seserupa itu. Ini menjadi unik sebab cerita mengenai Borobudur sudah tidak sedikit berubah semenjak masa keemasannya kala Dinasti Sailendra berkuasa.

Awalnya, candi ini di bina guna beribadah umat Buddha. Bahkan hingga sekarang, 12 abad sesudah masa pembangunan candi, Borobudur masih dirasakan sebagai candi Buddha Mahayana terbesar di dunia.

Ada sejumlah asumsi tentang nasib Candi Borobudur sesudah pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno (Medang) yang menaungi pembangunannya, tak lagi melanjutkan pusat kekuasaannya di distrik yang sekarang dinamakan Jawa Tengah. Sejak abad ke-10, rajanya, Mpu Sindok, mengalihkan kerajaannya ke distrik Jawa Timur sekarang. Ada sejumlah pendapat soal dalil kepindahannya.

Arkeolog Soekmono dalam Chandi Borobudur melafalkan bahwa paling barangkali Candi Borobudur ditinggalkan saat pusat pemerintahan tersebut berpindah. Walaupun tersebut tak pernah benar-benar hilang dari kenangan masyarakatnya.

“Kalau memang begitu, Candi Borobudur telah ditinggalkan oleh penganutnya sejumlah abad sebelum candi-candi di Jawa Timur,” katanya.

Kendati pusat pemerintahan Jawa Tengah meredup sesudah tahun 928, Borobudur tak sepenuhnya terabaikan. Buktinya keramik dan koin Tiongkok dari abad ke-11 dan ke-15 ditemukan di sana.

Pun Kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana dari masa Majapahit menyinggung semua peziarah masih terus mendatangi monumen itu. Meski memang situasi bangunannya telah tak terjaga dengan baik.

Dalam karya Mpu Prapanca tersebut dilafalkan di antara bangunan suci Buddha mempunyai nama Budur. Sementara dalam artikel Thomas Stamford Raffels, History of Java, dilafalkan Candi Borobudur ada di Distrik Budur.

“Demikianlah kasugatan kabajradharan (bangunan suci Buddha Bajradhara) ialah sebagai berikut… yang lainnya yakni Budur, Wirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watukura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wangkali, dan Beru, Lembah, Dalinan, Pangadwan, ialah wilayah perdikan kesatu yang ditetapkan,” catat Mpu Prapanca.

Dari situ, berpengalaman epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam “Reinterpretasi Nama Candi Borobudur” termuat di Jurnal Amerta Vol 30. No. I, Juni 2018, memutuskan bahwa Budur pada masa Majapahit masih dipergunakan sebagai nama bangunan suci Buddha. Candi tersebut baru benar-benar ditinggalkan semenjak warga sekitarnya berpindah ke Islam pada abad ke-15.

Seperti dilafalkan Soekmono, evolusi keyakinan pasti saja menuju evolusi sikap masyarakat terhadap candi. Akibatnya, yang berkembang ialah takhayul di seputar reruntuhan candi yang tak jelas asal usulnya untuk penduduk. Alih-alih suatu monumen Buddha, candi tersebut menjadi bukit yang strategis, lokasi pemberontak melarikan diri, sebagaimana diceritakan dalam Babad Tanah Jawi.

Kronik Jawa lainnya bahkan memandang Candi Borobudur sebagai lokasi yang angker. Babad Mataram menceritakan Pangeran Mancanagara, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta, mendatangi Borobudur guna memperlihatkan bahwa orang yang mengunjungi seribu arca bakal mati. Ia kemudian mengunjungi kesatria yang terpenjara di dalam sangkar, yang terdapat di dalam bangunan itu. Kesatria yang terpenjara tersebut lantas diartikan sebagai arca Buddha di dalam stupa berterawang yang terdapat di Candi Borobudur.

Singkat cerita, sesudah tidak terdapat pertanda kepulangannya, raja juga menyuruh pasukan guna membawa kembali anaknya, hidup atau mati. “Pangeran tersebut ditemukan, namun ia muntah darah, kemudian meninggal dunia,” kata Titi.

Keberadaan Borobudur baru terungkap lagi sesudah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing mengadukan keberadaannya untuk Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles pada 1812. Seperti diceritakan T.S. Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina hingga Bupati Yogyakarta, Tan Jin Sing diminta Raffles guna mengunjungi candi yang katanya terletak di sekitar Muntilan itu.

Saat sampai, bangunan candi tampak menyedihkan. Paimin, penduduk desa yang disuruh Tan Jin Sing sebagai penunjuk jalan harus menebas semak belukar di sekeliling candi dengan parang. Tubuh candi juga ditumbuhi tanaman. Bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sampai-sampai candi tersebut seakan-akan sedang di atas bukit.

Pada 1850-an, melulu empat dasawarsa sesudah Borobudur disibak dari semak belukar, orang Jawa sekali lagi mengerjakan ritual di lokasi itu. Berdasarkan penjelasan dari John Miksic dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas, menghanguskan dupa dan membawa persembahan bunga untuk semua Buddha di teras atas dan ke depan arca Buddha yang belum berlalu dibuat. Mereka memulas patung-patung tersebut dengan bubuk beras yang secara tradisional digunakan oleh semua perempuan muda guna mendandani diri mereka.

“Para pengunjung ini datang guna meminta anugerah, guna menemukan perlindungan dari penyakit, guna meminta berkah sesudah pernikahan dan kepentingan dalam negeri lainnya,” jelas Miksic.

Mitos mengenai arca di dalam sangkar yang membawa sial, pada masa ini malah sebaliknya. Ada kepercayaan bila di antara arca di stupa berlubang di teras atas malah membawa tuah untuk siapapun yang dapat menyentuhnya. Masyarakat menyebutnya dengan nama Kakek Bima, figur dalam cerita Pandawa lima dalam epos Hindu, Mahabarata. 

“Wanita tanpa anak terutama mengulurkan jari mereka ke arahnya, percaya bahwa dengan mengerjakan tersebut mereka sudah memuaskan Kakek Bima,” jelas Miksic.

Candi Borobudur kesudahannya mulai serius diurus saat pemerintah kolonial Belanda menyusun Borobudur Comissie. Anggotanya J.L.A Brandes, Van de Kamer (insinyur konstruksi dari Departemen Pekerjaan Umum), dan Theodore van Erp (insinyur perwira militer). Mereka bertugas mengamankan dan melestarikan Borobudur.

Van Erp memimpin pemugaran Candi Borobudur pada 1907-1911. Pemugaran berikutnya dilaksanakan pemerintah Indonesia dengan pertolongan UNESCO pada 1973-1983. Hasilnya, sekarang Candi Borobudur berdiri dengan megah, ditonton masyarakat dari semua dunia. Keangkerannya juga berangsur menghilang.

No comments:

Post a Comment