Nyi Euis
REMBULAN sedang dalam bentuk yang sempurna. Siang seolah melompat sebagian ke malam ini untuk mengusir separuh kegelapan. Angin berjalan pelan, daun pisang sedikit bergoyang, dan suara kodok menyempurnakan suasana malam yang khas di pesawahan. Besok keluargaku panen, dan aku bertugas menjaga sawah. Ini gara-gara di desaku sedang ada komplotan yang suka mencuri padi ketika hendak panen.
Aku tidak takut kepada komplotan pencuri padi. Kalau mereka datang, aku hanya perlu mengeluarkan jurus silatku. Tapi, cerita tentang Nyi Euis yang entah mitos atau benar-benar nyata membuat bulu kudukku berdiri. Konon katanya, Nyi Euis akan muncul bila musim panen tiba. Dulu Emak pernah menceritakannya kepadaku sebelum tidur.
"Bila musim panen telah tiba, kamu jangan pergi ke sawah malam-malam," tutur emak sambil mengusap kepalaku yang sedang tiduran di pahanya.
"Kenapa, Mak? Kan seru nangkap belut malam-malam."
"Ada Nyi Euis." Mataku yang polos menagih ucapan Emak selanjutnya. "Nanti kamu akan diajak bermain ke suatu tempat, dan tak akan bisa kembali lagi."
Kukira Emak hanya menakut-nakutiku karena suka pergi ke sawah malam-malam untuk menangkap belut. Tapi, pemikiranku segera berubah ketika cerita Emak terbawa mimpi. Dalam mimpi itu, aku diam-diam ke luar rumah saat Emak dan Abah sedang tidur. Seperti biasa, Acep dan Sodikin sudah menunggu di depan rumah. Aku sering melakukan hal itu. Saking seringnya aku jadi lupa entah berapa kali Emak memarahiku karena pergi tanpa bilang-bilang. Kemudian, aku dan dua temanku segera berjalan ke sawah. Kebetulan waktu itu musim panen, tapi aku tidak menghiraukan cerita sekaligus peringatan dari Emak. Aku tetap dalam pendirianku: bahwa Emak hanya menakut-nakutiku
Ada kegiatan yang dilakukan oleh para pemuda dan ditiru oleh anak-anak kecil seperti kami waktu itu. Namanya ngobor. Peralatan yang dibawa obor, golok, dan kantong plastik. Kami hanya tinggal menyusuri pematang sawah dan bila ada belut yang berkeliaran atau keluar dari lubangnya, maka salah satu dari kami akan langsung menebasnya dengan golok, lalu belut itu diambil dan dimasukkan ke kantong plastik.
"Apa kalian pernah mendengar cerita tentang Nyi Euis?" tanyaku.
"Kurasa itu hanya cerita karangan," jawab Acep.
"Emakku juga sudah dua kali menceritakan itu," jawab Sodikin menyusul.
Mendengar pengakuan dari mereka, aku jadi curiga, kalau emakku dan emak teman-temanku bersekongkol menakut-nakuti kami supaya tidak pergi ke sawah malam-malam lagi. Orang tua zaman dulu memang banyak akalnya untuk memberikan peringatan kepada anak-anaknya, seperti: jangan duduk di depan pintu nanti susah dapat jodoh! Padahal alasannya sederhana, duduk di depan pintu menghalangi jalan.
Tidak seperti biasanya, malam itu tidak ada satu pun pemuda yang ngobor. Bukannya takut, kami malah senang karena peluang untuk mendapat belut lebih besar, sebab tak ada saingan.
Blug!
Tiba-tiba kami mendengar suara kelapa jatuh. Acep yang memegang obor menjatuhkannya ke sawah yang berair karena kaget dan obornya mati. Sesaat suasana menjadi hening, sebelum seorang perempuan muda menghampiri kami. Wajahnya cantik, rambutnya panjang sepunggung, dan memakai kebaya. Perempuan itu mengajak kami bermain, lalu aku, Acep, dan Sodikin mengikutinya tanpa ingat sedikit pun dengan peringatan dari emak-emak kami.
Perempuan itu berjalan ke arah hutan, dan sebagai anak kecil yang polos kami terus mengikutinya hingga sampai ke suatu tempat, ke sebuah lubang sebesar lubang gua yang banyak rumputnya dan dedaunan. Setelah kami masuk, ternyata di dalam banyak anak kecil seumuranku, mereka menangis, dan ketika aku menengok ke belakang kusadari lubang masuk yang tadi sudah menghilang.
Saat aku terbangun esok paginya, aku langsung teriak-teriak memanggil Emak dengan keringat dan napas yang tersedak-sedak. Tak lama Emak datang menghampiriku dan memberikan segelas air minum.
"Mak, aku takut," ucapku amatir. "Nyi Euis ada dalam mimpiku."
Emak tidak menjawab, beliau hanya menertawaiku, padahal mimpiku itu buruk, bukan lucu.
"Sebenarnya Nyi Euis itu siapa?"
Kali ini Emak tersenyum, dan belum bicara, kemudian beliau memanggil Abah, dan membisikkan sesuatu di telinganya. Abah menggendongku di punggungnya dan membawaku ke halaman belakang. Di sanalah Abah bercerita tentang Nyi Euis, sambil melihat ikan-ikan di kolam.
Katanya: dahulu, sewaktu Belanda masih menjajah Tanah Air, hiduplah seorang perempuan cantik bernama Euis. Dia mempunyai rambut panjang sepunggung dan suka mengenakan kebaya. Banyak lelaki yang datang untuk melamarnya. Namun tak pernah ada yang diterimanya karena Euis sudah mempunyai kekasih yang akan segera menikahinya. Kehidupan sehari-hari Euis adalah membantu emak dan abahnya bertani. Sebuah petaka dimulai ketika salah satu tentara Belanda ada yang tertarik dengan kecantikannya dan pada suatu hari berusaha untuk menculiknya ketika dia sedang memanen padi di sawah, tapi Euis memberontak dan mencoba kabur sehingga dia ditembak sampai akhirnya meninggal.
Sang kekasih, yang sangat mencintainya, tidak bisa menerima kepergian Euis. Ia berduka begitu dalam dan tak sanggup kehilangan calon istrinya itu. Orang-orang zaman dulu terkenal sakti mandraguna, tak terkecuali calon suaminya Euis. Pada suatu malam ia membacakan jampi-jampi di hadapan jasad Euis yang sudah ditinggalkan ruhnya. Sepuluh hari sepuluh malam ia terus membacakannya tanpa henti. Sejak saat itulah ia dapat melihat Euis pada malam hari setiap musim panen. Sampai sang kekasih meninggal karena gugur di medan perang, Euis tetap muncul untuk menunggu kedatangannya.
**
MENGENANG cerita itu, sama halnya dengan mengulang ketakutan yang sama dalam mimpi burukku. Aku membayangkan Nyi Euis tiba-tiba hadir di sampingku, dan seluruh tubuhku tidak bisa bergerak, lalu Nyi Euis menggodaku dengan bebas, tangannya menyentuh wajah dan membelai rambutku. Mulutnya membisik-bisikkan sesuatu yang membuatku merinding, kemudian tubuhnya melayang dan berputar-putar di atas kepalaku, seterusnya dia kembali turun, wajah cantiknya menghadap sejajar dengan wajahku, dan perlahan-lahan wajahnya berubah menjadi buruk.
Bodohnya aku membayangkan sesuatu yang menakutkan. Mengapa tidak kubayangkan kekasihku Lela hadir di sini menemani? Kuyakin malam ini tidak akan begitu buruk dan akan menjadi indah. Wajah Lela sangat cantik, dan tentunya lebih cantik dari Nyi Euis. Apalagi Lela adalah gadis yang pandai merayu. Pelan-pelan kuelus kepalanya, kudekatkan wajahku dengan wajahnya, dan kubisikkan kata-kata yang membuatnya terlena.
"Kamu itu tampan. Hati-hati nanti Nyi Euis naksir."
Sial, Lela sempat menakut-nakutiku kemarin sore. Walau kutahu dia bermaksud bercanda, tetap saja aku takut.
Kupikir, mengkhayalkan hal-hal seperti itu hanya membuatku gila. Kucoba mengalihkan pikiran dan ketakutanku, dengan ngobor, lumayan, belutnya bisa buat makan besok waktu panen. Malam ini, rembulan sedang dalam bentuk yang sempurna. Siang seolah melompat sebagian ke malam ini untuk mengusir separuh kegelapan. Angin berjalan pelan, daun pisang sedikit bergoyang, dan suara kodok menyempurnakan suasana malam yang khas di pesawahan.
Blug!
Tiba-tiba aku mendengar suara kelapa jatuh, obor yang sedang kupegang terlepas ke sawah yang berair, dan aku segera kabur sebelum mimpi buruk itu menjadi kenyataan.
No comments:
Post a Comment