Mengapa Remaja Hobi Membandingkan Diri dengan Orang Lain di Medsos?
Di era digital, pararemaja bisa dengan mudah memantau aktivitas teman-temannya lewat medsos. Kegiatan ini bisa meningkatkan hubungan sosial anak. Di sisi lain, tak sedikit yang justru merasa tertinggal dibandingkan teman-teman mereka. Sebabnya, anak kerap membandingkan diri sendiri dengan orang lain di medsos.
Orang Tua Harus Waspada
Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga, Ajeng Raviando, perbandingan yang muncul bisa mencakup berbagai hal. Remaja punya standar sendiri tentang definisi keren. “Semua hal yang dianggap keren oleh remaja bisa memicu perbandingan terhadap orang lain tak terkecuali hal yang menyangkut kenakalan remaja. Karena pada masa ini, remaja cenderung ingin terlihat lebih dibandingkan orang lain,” terang Ajeng.
Remaja ingin terlihat lebih dari aspek materi, lingkaran pergaulan sosial, hingga hal yang menyangkut pornografi, narkoba, rokok, bahkan, ajaran menyimpang. Misalnya, anak yang melihat temannya membuka situs pornografi akan membandingkan dengan dirinya yang tidak diizinkan oleh orang tua untuk membuka situs sejenis. Bisa jadi ia akan bertanya kepada diri sendiri, “Kok dia boleh, sedangkan aku enggak?”
Perbandingan ini terjadi karena anak menggunakan sudut pandang teman-temannya untuk menilai diri sendiri. “Penilaian dari teman-teman ini krusial bagi para remaja. Ketika kecil, pendapat orang tua berharga bagi anak. Ketika remaja, pendapat dari teman-teman membuat anak merasa berharga,” psikolog dari Teman Hati Konseling ini mengingatkan.
Sifat suka membandingkan ini bisa menimbulkan rasa iri atau cemas pada remaja. Akibatnya, remaja merasa ada yang kurang dalam hidup mereka hingga bisa menimbulkan depresi. Dampaknya, remaja bisa memandang dirinya secara negatif. Lantas, kapan orang tua harus waspada dengan sifat anak yang suka membandingkan dirinya dengan orang lain?
Ajeng menjelaskan bahwa orang tua sebenarnya bisa mengukur tingkat kepercayaan diri anak. Remaja yang kerap membandingkan dirinya dengan orang lain kemungkinan memiliki rasa percaya diri yang rendah. Sinyal lain yang harus disadari orang tua, saat anak tak mampu mengukur kemampuannya sendiri. “Bisa dalam bentuk materi. Misalnya, anak minta uang saku lebih banyak dari yang telah disepakati bersama. Atau anak jadi berani ikut-ikutan kegiatan yang sebenarnya di luar kemampuannya,” beri tahu Ajeng.
Citra Diri Positif
Untuk meredam kebiasaan suka membandingkan pada remaja, Ajeng menganjurkan orang tua membentuk citra diri anak yang positif. “Orang tua bisa menanamkan pemahaman pada anak kalau kepribadian positif yang ada dalam dirinya merupakan keunggulan. Tujuannya, supaya anak bisa menilai dirinya secara positif dan tidak mudah terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang dirinya di luar dari kepribadian tersebut,” beri tahu Ajeng.
Ajeng juga mengimbau orang tua meluangkan waktu menengok laman media sosial bersama anak. Tujuannya, agar mereka tahu minat anak di medsos dan apa saja yang dilihatnya. Sebaliknya, orang tua mesti mengenalkan pada anak apa yang menarik menurut mereka. Aktivitas ini bermanfaat untuk membentuk komunikasi dua arah supaya anak tidak merasa seperti diawasi dan mau bercerita tentang apa yang dirasakan serta dilihatnya di jagat maya.
Beri pemahaman pula pada anak bahwa semua yang tampak di medsos tak selamanya benar. Orang tua adalah contoh bagi anak-anak. Karenanya, mereka juga harus menggunakan medsos dengan bijak serta konsisten menerapkan aturan dalam bermedia sosial.
“Misalnya, orang tua melarang anak mengunggah foto dengan busana terbuka, tapi malah pernah mengunggah foto anak dengan busana terbuka ketika kecil. Jadi, orang tua juga harus bisa mengingatkan diri mereka sendiri,” pungkas dia.
No comments:
Post a Comment