PSBB Tak Laku 'Diobral' di Pasar Tradisional, Pak Anies
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar () tak laku 'diobral' di , Pak Gubernur .Bukan. Kalimat itu bukan sebagai ekspresi pembangkangan, apalagi coba-coba menantang darurat virus corona (covid-19). Tapi demikian kenyataan di lapangan, geliat ekonomi lapisan bawah.Pasar-pasar tradisional seperti Pasar Kebayoran Lama berjalan seperti biasanya selama penerapan PSBB Jakarta.
Dalam peraturan PSBB, pasar memang termasuk yang boleh tetap buka. Saya sempat membayangkan, pasar-pasar bakal sepi setelah PSBB mulai diberlakukan pada Jumat (9/4) lalu.Dalam benak saya, mungkin yang belanja jauh tak seramai hari-hari biasa. Mungkin saya satu dari banyak warga yang sempat ragu ke pasar selama pandemi covid-19.Maklum, pasar biasanya jadi hiburan saya mengobati penat usai bekerja. Melihat sayur-mayur segar dan menawar harga barang rasanya cukup membahagiakan.
Cara ini patut diakui sebagai kebijakan yang cukup tepat diterapkan Gubernur Anies. Namun, penerapannya belum berjalan efektif.Saat mengecek laman di situs tersebut, daftar para pedagang beserta nomor telepon yang tertera di sana hanya sekitar 25 orang. Padahal, ada ratusan pelapak besar dan kecil di sana.Sulit juga membayangkan segelintir pelapak itu jika harus melayani ribuan orang yang saban siang dan malam belanja di sana via pesanan jarak jauh.Empat hari setelah pemberlakuan PSBB, saya pun memutuskan langsung pergi ke pasar Kebayoran Lama pada dini hari untuk belanja bahan-bahan untuk dimasak.
Barang-barangnya segar, murah pula. 'Hobi' saya ini pula yang juga jadi kebahagiaan 'Nyonya' di rumah.Saya sempat mengecek situs di PD Pasar Jaya sekira dua hari sejak pemberlakuan PSBB. Di situs itu terdapat kontak sejumlah pelapak di Pasar Kebayoran Lama.Tujuannya agar para pembeli tak perlu keluar rumah pergi ke pasar. Cukup menelepon atau kirim pesan WhatsApp kepada pedagang untuk memesan dagangan yang diinginkan.
Sayur-mayur, jamur, tempe, bumbu-bumbu, telur, dan bahan-bahan lainnya sudah masuk dalam daftar belanjaan.Tak lupa, saya mematuhi aturan pemerintah dengan memakai masker, bakal jaga jarak, bahkan pakai jaket tebal. Tak lupa pula harus cuci tangan, bahkan mandi setelah sampai rumah. Pokoknya benar-benar harus disiplin ketat.Sebelum menunggangi motor untuk ke pasar, saya sempat membayangkan semua pembeli maupun pedagang akan seperti saya: sadar prosedur darurat covid-19.
Dagangan akan dikirimkan ke rumah masing-masing melalui hantaran dari petugas di pasar tersebut
Rupanya ada kesenjangan antara pikiran dan kenyataan. Pasar masih tetap ramai. Mungkin hanya berkurang sedikit hiruk-pikuknya.Para pembeli yang berjejal melewati jalur di blok-blok pasar maupun lapak emperan, masih bisa dijumpai. Dari blok utara hingga selatan, bahkan di bawah fly-over Jalan Raya Ciledug, tetap cukup padat.Jaga jarak minimal satu meter? Jauh dari harapan.
Aturan ini jadi terkesan subjektif bagi para pengunjung maupun pembeli. Mereka tampaknya merasa berdekatan dengan berjarak 50 centimeter sudah cukup aman.Sejumlah pengunjung maupun pembeli memang ada yang mengenakan masker. Namun, tak sedikit yang tidak menggunakannya."Ngapain repot-repot pakai masker. Mati ya, mati aja lah," demikian ujar seorang pria paruh baya kepada rekannya sesama penjual yang sempat saya dengar.
Di antara hiruk-pikuk disinari temaram neon lapak, tak dijumpai satu pun petugas yang memastikan aturan PSBB berjalan. Padahal, sudah seharusnya terdapat petugas-petugas untuk mengawal penerapan PSBB. Setidaknya demikian yang saya amati pada malam hari.Tiada pula tempat-tempat untuk mencuci tangan dengan sabun. Mulai dari blok sebelah utara, hingga selatan sampai di bawah fly-over jalan Ciledug Raya, tak ditemui tempat cuci tangan.Pasar Kebayoran Lama tetap beraktivitas seperti biasanya. Tak pernah beristirahat saban siang, malam, pagi, hingga bersua siang lagi. Selalu bergeliat di tengah darurat virus corona.Bagi para pedagang, tak ada istilah libur demi dapurnya tetap mengepul."Corona ya, corona. Biar aja. Kita tetap cari duit. Memang siapa yang mau menanggung hidup kalo bukan kita sendiri," demikian ujar salah satu pedagang jamur dan sayuran yang duduk bersila di lapaknya tanpa mengenakan masker."Paling kalau lagi corona begini, yang susah itu dapet jamur-jamur impor dari China atau Jepang," dia menambahkan.
Di pasar, darurat covid-19 sekadar topik sambil lalu. Terpenting adalah obrolan tawar-menawar antara pembeli dan penjual."Masih ke pasar, bu? Enggak khawatir corona? Kan sudah bisa pesan dari situs PD Pasar Jaya," ujar saya kepada salah seorang pembeli sekadar iseng belaka."Ah, mana paham saya, mas. Lagian kalau belanja langsung begini kan masih bisa pilih-pilih sendiri daging, ikan, sayur atau bumbu-bumbu dapur yang cakep-cakep. Corona biarin aja lah. Pasrah aja sama yang di atas (Tuhan)," sahut sang ibu paruh baya itu.
Memang, tidak semua lapisan masyarakat paham betul cara untuk berbelanja online sekarang macam generasi milenial.
Belum lagi, para pembeli banyak juga sudah memiliki langganan di pasar. Sementara di situs PD Pasar Jaya, hanya sekira 25 pedagang yang terdaftar. Angka itu jauh dari kenyataan di lapangan.
Tampak tak terlihat sedikitpun wajah-wajah cemas dari para pengunjung, apalagi pelapak pasar.
Sesekali saya mencuri dengar obrolan di antara para penghuni pasar bahwa ada pedagang tahu yang meninggal di lapaknya beberapa pekan lalu. Tak diketahui pasti penyebab meninggalnya. Dugaan sementara karena sakit jantung.
"Ya langsung jatuh saja begitu. Sempat megap-megap. Badannya semua pada biru. Sampai rumah sakit, sudah meninggal," demikian terang salah satu penjual bumbu giling kepada pembeli.
Porsi darurat corona juga hanya tipis sekali dibahas dalam perbincangan itu. Lagi-lagi, darurat Covid-19 seolah absen di pasar tradisional.
Realitas ruang publik di lapisan bawah seperti di pasar tradisional menyibak betapa kurang efektif penerapan PSBB. Tolong Pak Anies, darurat virus corona tak laku 'diobral' di pasar tradisional yang kerap saya kunjungi.
No comments:
Post a Comment